Kamis, 19 April 2012

Warna warni Tapis Lampung

Awal bulan Maret lalu, Museum Tekstil Jakarta menggelar pameran tapis Lampung. Lebih dari seratus wastra dari rentang waktu berbeda dipamerkan selama kurang lebih sebulan. Kain tenun khas tradisional Lampung ini kerap dikenakan dalam bentuk sarung dan terkenal punya ragam hias yang variatif.

Menurut sejarahnya, konon masyarakat Lampung menenun kain brokat dan daun pelepai sejak abad ke-2 Masehi. Ragam hias yang diaplikasikan umumnya terinspirasi dari tradisi zaman itu seperti pohon hayat, bunga melati dan binatang. Masuknya agama Islam serta perkembangan lalu lintas pelayaran antar pulau di Indonesia kemudian ikut mempengaruhi corak hias pada kain. Perajin yang tinggal di lingkungan pelabuhan menghias kain dengan motif kapal.

Proses penenunan tapis memerlukan waktu beberapa bulan. Kain ditenun dengan system ikat menggunakan benang katun atau sutra dan ragam hiasnya disulam dengan menggunakan benang emas atau perak. Ciri khas inilah yang membedakan tapis dengan kain tradisional lainnya. Pengrajin seolah meninggalkan jejak karyanya dengan menyisakan benang, seperti yang terlihat pada tapis Sungkai.

Jumat, 09 Maret 2012

Adiwastra 2012: Ketika Timur menyapa Barat


Adiwastra Nusantara 2012 yang berlangsung bulan lalu di Jakarta menorehkan catatan yang mengesankan. Pameran kain tradisional ini menyuguhkan koleksi wastra yang berumur puluhan tahun dari berbagai daerah koleksi Hartono Sumarsono, seorang kolektor kain. Beberapa di antaranya songket dari Sumatra, misalnya selendang Limar Mentok dari Bangka. Selendang ini dibuat pada awal tahun 1900. Nama Limar sendiri konon timbul karena bulatan kecil yang membentuk motif mirip dengan tetesan air jeruk.
Motif Limar Mentok (Bangka)

Selasa, 18 Oktober 2011

Batik dalam denyut kehidupan manusia


World Batik Summit yang digelar di Jakarta akhir bulan lalu tidak hanya mengenalkan batik dalam lingkup komersial. Beragam kain batik dari berbagai daerah dalam rentang waktu yang berbeda hadir memberikan pengetahuan wastra nusantara. Dua stan yang menarik perhatian saya adalah stan kain Peranakan dan stan kain batik Solo & Jogja. Yang disebut pertama memajang koleksi batik peranakan yang diproduksi sekitar awal tahun 1900. Motif mahluk hidup seperti burung hong dan bunga mawar dominan menghiasi kain yang kebanyakan berwarna terang seperti merah, hijau dan kuning kecoklatan.

Sedangkan stan lainnya yang cukup banyak ditengok pengunjung adalah stan batik yang digelar oleh Paguyuban Pecinta Batik Sekar Jagad. Stan ini menarik karena mengedukasi pengunjung dengan memberikan info tentang arti dan kegunaan beragam motif batik dari Jogja & Solo tersebut. Berikut beberapa motif di antaranya:

Batik motif  Sido Asih digunakan saat Tingkeban atau upacara 7 bulanan ibu hamil

Batik motif Sido Mulyo, dipakai sebagai alas bayi saat baru lahir

 Batik motif Parang Sisik, umumnya dikenakan pada saat upacara khitanan





Senin, 29 Agustus 2011

Pewarna Alam untuk Kain Indonesia


Kain tradisional Indonesia sudah lama terkenal dengan keindahan motifnya. Motif kain-kain tersebut sangat indah, rumit dan  juga memiliki arti filosofis tertentu sesuai dengan motifnya. Keindahan motif-motif itu tentunya tidak terlepas dari komposisi warna yang memikat. Warna dan motif saling mendukung untuk membuat kain-kain tradisional terlihat indah dan anggun. Pewarnaan pada kain didapat melalui proses yang rumit, misalnya pada kain tenun, benang tenun harus diwarnai dan pada kain batik harus melalui proses perendaman yang berkali-kali untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.

Jaman sekarang, hampir sebagian besar kain tradisional menggunakan pewarna buatan. Pewarna alami ditinggalkan karena biayanya lebih mahal daripada pewarna buatan dan juga proses pembuatan pewarna alami juga lama dan rumit ketimbang pewarna buatan yang dapat langsung dipakai. Tetapi seiring perkembangan jaman orang-orang mulai melirik kembali bahan pewarna alami. Alasannya pewarna alami lebih ramah lingkungan dan yang paling penting, warna yang dihasilkan pewarna alami lebih bagus dan unik.

Pewarna alami didapat dari hampir semua bagian dari tanaman seperti; batang, daun, bunga, biji, kulit biji atau akar. Sedangkan jenis tumbuhan yang biasanya digunakan untuk bahan pewarna adalah; kunyit untuk warna kuning, tanaman indigo atau nila untuk warna ungu, biji pinang untuk warna merah dan masih banyak lagi tanaman yang dapat digunakan. Tidak semua jenis kain dapat menggunakan pewarna alami, hanya kain yang berserat alam saja seperti sutra, wol dan katun yang dapat digunakan. Yang terbaik dalam penyerapan pewarnaan adalah kain sutera asli. Sedangkan bahan kain sintetis seperti polyester tidak dapat menggunakan pewarna alami karena tidak memiliki daya serap zat pewarna alam sehingga tidak mudah dalam proses pewarnaan.

Proses pembuatan pewarna alami tidak terlalu rumit. Masyarakat umum dapat membuat sendiri pewarna alami ini dengan mengekstrak bagian-bagian tumbuhan melalui proses perebusan. Atau jika tidak mau repot, pewarna alami juga banyak dijual di pasaran dalam bentuk pasta. Jika kita ingin membuat sendiri bahan pewarna alami, ada beberapa langkah dalam membuatnya:

·         Bagian tumbuhan yang ingin diekstrak dikeringkan dahulu, atau bisa saja digunakan langsung tanpa melalui proses pengeringan.

·         Rebus bahan-bahan tersebut dengan air hingga warna-warna terekstrasi. Jika menginginkan warna yang lebih gelap, maka air yang digunakan sedikit air, begitu pula sebaliknya jika menginginkan warna yang lebih muda, tambahkan air lebih banyak. Jika warna air tidak berubah (tetap bening) maka tanaman tersebut tidak dapat digunakan untuk pewarna.

·         Setelah warna terektraksi, saring air rebusan tersebut untuk memisahkan air rebusan dan sisa bahan yang diekstrak. Gunakan setelah dingin.

Sebelum kain dicelup pada bahan pewarna, ada baiknya kain dibersihkan terlebih dulu dengan air sabun selama dua jam atau semalam, setelah bilas sampai bersih dan keringkan. Langkah selanjutnya adalah merendam kain dengan air hangat  yang sudah dicampur dengan tawas, biarkan selama semalam. Keringkan kain tanpa diperas, setelah kering kain dapat disetrika. Proses ini disebut mordant, gunanya untuk membuat jembatan kimia antar pewarna alami dan serat kain supaya keterserapan, ketajaman dan kerataan warna lebih baik. Kain yang telah dimordant dapat segera melewati proses pencelupan.

Untuk menjaga agar warna dapat tahan warna dan tidak mudah luntur, setelah melewati proses pencelupan, kain harus melewati tahap terakhir yaitu proses fiksasi. Bahan yang digunakan adalah tawas, tunjung atau kapur tohor. Pilih salah satu dari bahan tersebut, campurkan dengan air (temperatur biasa), sesuaikan bahan dengan banyaknya air yang digunakan. Rendam selama 10 menit. Untuk berjaga-jaga jika terjadi perubahan warna setelah difiksasi, siapkan larutan fiksasi dengan bahan lain untuk melihat perubahan warna yang terjadi, dan gunakan sampel kain terlebih dahulu untuk melihat hasilnya. Pada umumnya bahan sutera dapat menyerap zat warna lebih baik daripada bahan lain seperti katun.
Dibawah ini adalah biji mahoni, kunyit dan pinang yang sering digunakan sebagai bahan pewarna alami.




posted by: 1235ty

Kamis, 10 Februari 2011

Tenun Gedog dari Pesisir Tuban

Motif Panji Krentil

Tuban, sebuah daerah pesisir di utara Jawa timur, turut menyumbang keberagaman kain tradisional Indonesia melalui tenun Batiknya yang lazim disebut sebagai Tenun gedog atau Batik tenun gedog. Kain Batik ini dibuat bukan hanya melalui proses pembatikan tetapi menenun terlebih dahulu lembaran kain yang akan di batik. Mungkin bagi sebagian masyarakat Tenun Gedog kurang akrab di telinga, itu dikarenakan profesi perajin Tenun Gedog ini adalah profesi sampingan, sedangkan profesi utama mereka adalah petani, jadi jika musim tanam dan panen tiba mereka turun ke sawah. Selain itu, faktor lain adalah jumlah generasi muda yang meneruskan tenun ini sedikit. Walau begitu nama tenun Gedog bukan hanya terbatas pada Kabupaten Tuban tetapi sudah mendunia, kain tenun Gedog sudah merambah mancanegara seperti Jepang, Australia, dan beberapa negara Eropa seperti Perancis dan Belanda. Nama tenun Gedog ini berasal suara saat menenun kain yang berbunyi alat tenun yang digunakan saat menenun kain yang akan dibatik, bunyinya dok-dok, sehingga kain ini kemudian dinamai Tenun Gedog.

Proses pertama dalam pembuatan kain ini adalah proses penenunan. Bahan bakunnya adalah kapas, ada dua macam kapas; kapas putih disebut lawe dan kapas coklat disebut lawa. Kapas putih dapat diperoleh di sekitar rumah para penenun, sedangkan kapas coklat didatangkan dari daerah lain. Proses pertama adalah merebus benang yang sudah dipintal agar tidak mudah putus. Setalah itu benang dikanji dengan beras dengan tujuan untuk meratakan bulu-bulu benang, penenun akan menyikat benang jika masih ditemukan bulu. Selanjutnya benang akan dijemur dan setelah benar-benar kering, benang digulung sesuai dengan keinginan. Jadi jika kain yang ditenun lebih lebar dari standar maka gulungan benangpun akan lebih besar. Proses tenun ini biasanya memakan waktu sampai 2 hari.

Rabu, 05 Januari 2011

Sentra kain nusantara


Beragam motif indah yang menghiasi kain tradisional dihasilkan oleh perajin kain yang tersebar di penjuru nusantara. Di sudut-sudut desa dan kampung, mereka berusaha mengolah peninggalan budaya ini sehingga keberadaannya langgeng. Mengenal sentra pembuatan kain adalah salah satu cara membantu pelestarian kain pusaka.

  1. Desa Muara Penimbung, Palembang

Desa ini terletak sekitar 35 km dari pusat kota Palembang. Awalnya perajin kain disini hanya berjumlah 5 orang ketika pusat songket ini berdiri tahun 1990. Kini, hampir seluruh penduduk wanita desa turut serta mengolah songket. Harga yang ditawarkan disini mulai dari ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah. Motif yang tersaji dalam tiap helai kain terdiri dari motif tumbuh-tumbuhan, geometris dan campuran keduanya. Masing-masing memiliki makna, misalnya aroma bunga semerbak menggambarkan kebajikan dalam kehidupan.

Selasa, 04 Januari 2011

Batik Jambi, Si Langka dari Pulau Sumatra

                                                        Motif Duren Pecah
                                                                                       by: Rumah Batik Zhorif
Apa yang terlintas di benak kita ketika mendengar kata Batik? Kain, Kota Jogjakarta, Batik Solo atau pulau Jawa ….. Pasti tidak jauh- jauh dari kosakata itu. Jika membahas kain tradisional yang satu ini, pasti kita tidak menyangka kalau sebuah propinsi di Pulau Sumatra juga memiliki kain Batik. Kebanyakan kain tradisional di Pulau Sumatra dibuat melalui proses tenun seperti songket, ulos, dan tapis. Tetapi Propinsi Jambi memiliki kain yang unik yang berbeda dari propinsi lainnya di Pulau Sumatra, yaitu Batik Jambi. Batik Jambi ini seperti Batik-Batik lainnya yang berasal dari Pulau Jawa, yaitu melalui proses pelukisan dan pencelupan.

Kisah Batik Jambi juga erat dengan Pulau Jawa. Kisahnya berawal dari Haji Muhibat yang berasal dari Jawa, datang bersama keluargnya dan kemudian menetap di Jambi. Kemudian ia memperkenalkan Batik dan cara pengolahannya. Sejak saat itu Batik mulai dikenal di Jambi sampai saat ini, tentu saja motifnya disesuaikan dengan selera masyarakat Jambi. Pada waktu itu motif yang banyak digambar adalah ukiran-ukiran yang terdapat di rumah adat Jambi.

Keragaman Batik Jambi dibagi berdasarkan Kabupaten di propinsi Jambi. Kebanyakan motif Batik Jambi terinspirasi dari kehidupan sehari-hari seperti sungai Batanghari, buah-buahan, binatang, dedaunan, dan alat transportasi. Karena motif yang sangat merakyat, maka motif Batik Jambi ini tidak ditujukan untuk kalangan tertentu atau kelas tertentu. Jika ada kalangan bangsawan yang memakai motif yang eksklusif, kebanyakan disebabkan karena motif tersebut masih baru dan seiring dengan waktu motif tersebut juga akan populer di masyarakat umum. Ini mirip dengan Batik Tatar Sunda baik dari penggambaran motif dan juga aturan pemakaiannya. Berikut ini adalah beberapa daerah dengan motif khasnya: