Minggu, 08 Agustus 2010

Sarung, dulu dan kini


Sebagian besar masyarakat Indonesia tentu tak asing dengan kain bernama sarung. Kain yang kedua ujungnya dijahit sehingga menyerupai tabung ini dipakai oleh pria dan wanita dalam banyak kesempatan. Bahkan seolah menjadi tradisi bagi pria muslim untuk mengenakan sarung saat beribadah.

Proses penyebaran agama Islam melalui perdagangan kabarnya turut pula mendatangkan tradisi penggunaan sarung yang dikenalkan oleh pedagang Yaman. Pemakaiannya yang sederhana dan tidak menunjukkan aurat pemakainya membuat kain ini menjadi populer dalam di kalangan muslim Indonesia. Pada zaman penjajahan Belanda, para santri bahkan mengenakannya sebagai symbol perlawanan terhadap pengaruh budaya barat.

Seiring perkembangan zaman, sarung dipakai tidak hanya dipakai untuk ritual keagamaan, tetapi juga upacara adat dan bahan sandang sehari-hari. Salah satu daerah penghasil kain tenun yang menjadi bahan sarung adalah Sulawesi Selatan, tepatnya di kawasan Sengkang dan Mandar. Masyarakat suku Bugis di kedua daerah ini memiliki ketrampilan menenun kain turun temurun. Corak khas sarung buatan Sengkang selain kotak-kotak kecil dan besar, juga garis zig-zag beraneka warna. Warna yang dihasilkan umumnya cerah seperti merah muda, kuning, hijau muda, dan merah terang. Sedangkan sarung Bugis buatan Mandar biasanya berwarna lebih gelap seperti merah marun, hijau tua dan hitam. Ragam hias yang dihasilkan selain kotak-kotak, juga bunga-bunga yang tersebar di seluruh permukaan kain dengan memakai benang metalik.
Sarung Bugis