Awal bulan Maret lalu, Museum Tekstil Jakarta
menggelar pameran tapis Lampung. Lebih dari seratus wastra dari rentang waktu
berbeda dipamerkan selama kurang lebih sebulan. Kain tenun khas tradisional
Lampung ini kerap dikenakan dalam bentuk sarung dan terkenal punya ragam hias
yang variatif.
Menurut sejarahnya, konon masyarakat Lampung
menenun kain brokat dan daun pelepai sejak abad ke-2 Masehi. Ragam hias yang
diaplikasikan umumnya terinspirasi dari tradisi zaman itu seperti pohon hayat,
bunga melati dan binatang. Masuknya agama Islam serta perkembangan lalu lintas
pelayaran antar pulau di Indonesia kemudian ikut mempengaruhi corak hias pada
kain. Perajin yang tinggal di lingkungan pelabuhan menghias kain dengan motif
kapal.
Proses penenunan tapis memerlukan waktu beberapa
bulan. Kain ditenun dengan system ikat menggunakan benang katun atau sutra dan
ragam hiasnya disulam dengan menggunakan benang emas atau perak. Ciri khas
inilah yang membedakan tapis dengan kain tradisional lainnya. Pengrajin seolah
meninggalkan jejak karyanya dengan menyisakan benang, seperti yang terlihat pada tapis Sungkai.